Tuesday, March 25, 2014

Riyak VS Norma Masyarakat


In this post, let's discuss about the validity of this message shared by Saudara Al Wakaka (gambar)

Bila seseorang lakukan kebaikan secara terbuka, kita dapati ada saja mereka yang merampang, "Riyak betul!" But whose footsteps do these detractors follow? Para sahabat atau munafiqun? Let's find out.

1. Mari lihat gelagat orang munafik tatkala mereka dapati para sahabat bersedekah secara terbuka:
[Hadith Sahih Muslim. Jilid 2. Nombor 0975. Topik: Zakat] 
Dari Abu Mas'ud RA, katanya: "Kami diperintahkan Rasulullah SAW supaya bersedekah, sedangkan kami hanya pekerja kasar atau kuli. Namun Abu 'Uqail bersedekah setengah gantang. Kemudian yang lain mengikutinya dengan menyedekahkan apa saja, namun lebih banyak dari itu. Melihat kenyataan itu, orang-orang munafik berkata: "Sesungguhnya Allah Maha Kaya. Dia tidak membutuhkan sedekah ini dan itu. DAN MEREKA MELAKUKAN INI SEMUA HANYA KERANA RIYAK SEMATA-MATA." Kerana ucapan mereka itu, maka turunlah ayat: "(Orang-orang munafik, iaitu) mereka yang mencela orang-orang mukmin yang memberikan sedekah dengan sukarela, dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (sesuatu untuk disedekahkan) selain hasil jerih payah mereka. Maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka itu dengan seksa yang pedih." [al-Taubah, 9:79]

So as you can see, it is morally bankrupt people who tend to accuse others of being morally bankrupt. It's just a simple psychological projection (read more on Wikipedia). They can't live up to those good qualities, so to take away the responsibility from doing it themselves, they make fun of it. That's how their game works.

2. Mari telusuri pula ibrah para sahabat dan lihat sikap mereka 'hadapi' amal & ibadah orang.
[Hadith Sahih Muslim. Jilid 2. Nombor 0959. Topik: Zakat]
Dari Abu Dzar RA, katanya beberapa orang sahabat Nabi SAW (dari Muhajirin) pernah berkata kepada baginda SAW, "Wahai Rasulullah SAW, Kaum hartawan (dari Ansar) dapat memperoleh pahala yang lebih banyak (daripada kami Muhajirin). Mereka solat seperti kami solat, puasa seperti kami puasa, (tetapi) bersedekah (pula) dengan sisa harta mereka..."[1]

Nah, lihat asbab ketidakpuasan hati Muhajirin terhadap Ansar. Does it have anything to do with riyak? No. Gelisah itu timbul dari rasa tidak ingin kalah dalam persaingan ibadah, sekurangnya dari segi kuantiti. Solat sunat, puasa sunat, mereka mampu bersaing, tapi sedekah? Mereka terasa tertewas kerana kekayaan ditinggal di Makkah sewaktu hijrah.

Pause here.

The fact that there were healthy competitions going on between them clearly shows they knew about the ibadah of each other, i.e., bukanlah setiap masa mereka sembunyikan ibadah sunat mereka. Think about it.

Even in the Qur'an, Allah SWT said, "Jika kamu MENAMPAKKAN sedekah(mu), maka itu adalah baik sekali. Dan jika kamu menyembunyikannya dan kamu berikan kepada orang-orang fakir, maka menyembunyikan itu lebih baik bagimu." [al-Baqarah, 2:271]

"Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan di siang hari secara tersembunyi dan TERANG-TERANGAN, maka mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya." [al-Baqarah, 2:274]

"Dan orang-orang yang sabar kerana mencari keredhaan Tuhannya, mendirikan solat, dan menafkahkan sebahagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka, secara sembunyi atau TERANG-TERANGAN serta menolak kejahatan dengan kebaikan; orang-orang itulah yang mendapat tempat kesudahan (yang baik)." [ar-Ra'd, 13:22]

Meaning the choice is yours whether to do ibadah privately or openly, so long as your intention is pure and ikhlas. And everyone knows their own intention better than those denigrators.

Kalau kita hidup dalam komuniti yang kontang dari melakukan ibadah, then why not do our good deeds openly so we can inspire others? So we can make it a "social norm"?

Action speaks louder than words after all. Berdakwah dengan menunjukkan tauladan itu jauh lebih berkesan & efisyen berbanding dakwah secara lisan. All too often when we talk about choosing friends, we focus too much on avoiding the blacksmith and finding the perfume-seller, to the point that we forget we can become the perfume-seller ourselves, especially if we have a bold and strong personality.

Demikian yang telah dilakukan para sahabat sehingga di sana wujud persaingan sihat dalam beribadah.

Firman Allah SWT dalam al-Qur'an, "...berlumba-lumbalah kamu mengerjakan kebaikan..." [2:148] [5:48]

Contrast this to our reality. Masing-masing lebih bersungguh bersaing menyembunyikan ibadah yang entah ada entah tidak, lebih selesa hidup camouflage di sebalik budaya self-serving, narcissism, judgmentalism, hedonism, yang kian menjadi kebiasaan. Tweet "Done terawih!" diberi kecaman, sementara laghw dan fahisyah dibiar merajalela. Desensitized.

Nilai moral semakin dihela ke tingkatan rendah. Maka tidak hairanlah label riyak itu tertempek ke atas muka semua penzahir ibadah.

But let us overwrite that notion. "Qiyamullail adalah amalan istimewa yang dilakukan hanya oleh orang-orang soleh"? Turn it into a norm then, just like how it was back in the days of the sahaba — everyone was doing it and sharing their experience, jadi tak timbul pun rasa riyak, kerana memang tak ada apa pun yang nak dibanggakan. It. Was. A. Norm.

Ultimately, social norms can be shaped and changed. So what do *you* want to normalize in *your* society? Sayyi'at, laghw, atau hasanat?

__________________


Nota tambahan:

As for the other side of the coin, buat mereka yang merebuntukan keikhlasan dalam beribadah, lazimkanlah 2 amalan ini:

1. Increase your private good deeds. Make sure that your private good deeds > your public good deeds, both in quality and quantity.

2. Berdoalah agar dibersihkan hati dari virus riyak:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ أَنْ أُشْرِكَ بِكَ وَأَنَا أَعْلَمُ ، وَأَسْتَغْفِرُكَ لِمَا لاَ أَعْلَمُ

Terjemahan Bahasa Melayu: "Ya Allah, kumohon perlindungan-Mu dari kulakukan kesyirikan kepada-Mu sedang aku mengetahuinya, dan kumohon keampunan-Mu (sekiranya kulakukan kesyirikan kepadaMu sedang) aku tidak mengetahuinya."

Terjemahan Bahasa Inggeris: "O Allah, I seek refuge in You that I commit shirik with You while I’m aware of it, and I ask You to forgive me if I did it unintentionally."

—Doa petikan Hadith Sahih Bukhari

Ingat, riyak itu syirik khafi. So personally, I would rather keep my ibadah to myself. The purpose of the post is to put you in mind of the implications that judging others' intentions have on shaping social norms. Hence the title of the post.

__________________

Footnote:

[1] - Sambungan Hadith No.0959: Jawab Nabi SAW, "Bukankah Allah telah menjadikan berbagai macam cara untuk kamu bersedekah? Setiap kalimah tasbih adalah sedekah; setiap kalimah takbir adalah sedekah; setiap kalimah tahmid adalah sedekah; setiap kalimah tahlil adalah sedekah; menyuruh pada kebaikan adalah sedekah; melarang kemungkaran adalah sedekah; dan hubungan intim kalian (dengan isteri) adalah sedekah." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah, apakah salah seorang di antara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan pahala?" Rasulullah SAW menjawab, "Bagaimana pendapat kalian jika ia melampiaskan syahwatnya pada yang haram, apakah ia berdosa? Demikian juga jika melampiaskannya pada yang halal, maka ia mendapatkan pahala."

0 comments:

Post a Comment